6 teknologi
BERITA VIRAL

6 Teknologi Canggih Paling Menakutkan di Dunia

VIPPELANGI , AduQ Online 6 Teknologi Canggih Paling Menakutkan Di Dunia. Di zaman yang kian modern kini, teknologi sudah semakin berkembang dan banyak digemari. Sejumlah aplikasi telah dibentuk, banyak di antaranya yang ditujukan untuk meringankan tugas sehari-hari manusia. Ada pula yang diciptakan untuk melakukan hal khusus.

Contohnya saja Silicon Valley yang dibangun di atas gagasan bahwa teknologi adalah kekuatan yang harus digunakan untuk kebaikan. Mereka telah melakukan banyak perubahan besar yang bisa dilihat hanya dalam satu generasi.

Apple membuat ponsel pintar secaara berkala dan masih laku di pasaran d dunia. Facebook menghubungkan lebih dari 2 miliar orang di planet ini. Google mampu memberikan jawaban untuk hampir semua pertanyaan hanya dengan waktu sepersekian detik saja.

Perusahaan seperti Amazon, Netflix, dan Uber seolah paham apa yang dibutuhkan umat manusia di Bumi, sehingga mereka dianggap penting.

Tetapi, seluruh teknologi yang dilahirkan tersebut pun membawa konsekuensi yang tidak diinginkan. Peretas semisal. Hacker sudah beberapa kali mencuri data dan identitas pengguna aktif internet.

Ada pula penyalahgunaan media sosial untuk mempengaruhi pemilihan umum, menabur kebencian dan berita bohong. Selain itu, penerapan kecerdasan buatan (AI) dan sistem pengenalan wajah juga disebut mengkhawatirkan banyak pihak.

BandarQ Online

Pertumbuhan dan kapasitas anak-anak pun menjadi tantangan terbesar orangtua saat ini.

Namun berita baiknya adalah beberapa perusahaan yang bergabung di Silicon Valley bergabung dengan akademisi, pembuat kebijakan, dan konsumen untuk memecahkan segala permasalahan itu.

Lalu, 6 teknologi seperti apa yang disebut paling menakutkan di dunia? Berikut 6 teknologi di antaranya, seperti dikutip dari VipPelangi , Senin (30/4/2019).

1. Pengenal Wajah

Teknologi canggih ini sudah menciptakan manfaat baru dan penting bagi orang-orang di seluruh dunia, tetapi kita harus berpikir luas tentang risikonya. Demikian menurut Brad Smith, presiden Microsoft.

Menurutnya, sejauh ini, sistem pemindai atau pengenal wajah dinilai mampu melampaui kemampuan pemerintah yang ada di sejumlah negara.

Otoritas bahkan harus mengadopsi undang-undang baru untuk melindungi bangsanya dari diskriminasi, ancaman terhadap data pribadi dan dampak potensial terhadap hak-hak demokratis.

2. Pengatur Saraf

Ketimpangan saraf bisa menjadi permasalahan yang timbul di masa depan.

Moran Cerf, ahli ilmu saraf dan profesor bisnis di Northwestern University (Illinois, AS) mengemukakan, beberapa orang akan dapat meningkatkan pemikiran mereka dengan sebuah chip yang ditanamkan di otak, sehingga membuat diri mereka –secara tidak proporsional– lebih pintar daripada rata-rata manusia.

Mungkin juga ada risiko manipulasi pikiran.

Dengan ahli saraf yang semakin baik dalam mengembangkan ilmunya untuk mengakses otak dan mengubah pemikiran manusia, kita bahkan bisa mencapai dunia di mana kita juga bisa mengubah pikiran orang lain.

Ini adalah teknologi yang menakutkan, mengetahui bahwa seseorang dapat “menulis” ke dalam pikiran kita, menciptakan pemikiran dan ide-ide dalam otak kita sendiri sehingga kita tidak akan bisa membedakan hasil dari apa yang kita buat sendiri.

3. Pelindung Bocah

Joshua Sparrow, M.D. (gelar untuk “a Doctor of Medicine”) dari Harvard University mengatakan, setiap aspek perkembangan manusia, kesehatan dan kesejahteraan, akan tergantung pada kemampuan kita untuk menavigasi dan membentuk hubungan sosial yang penuh kasih.

Namun, beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa para orangtua dapat membahayakan anak-anak mereka ketika mereka mengalihkan perhatian ke ponsel.

Dalam satu waktu, anak di bawah umur dan bayi, jadi lebih negatif dan kurang mengeksplorasi ketika orangtua mengangkat telepon mereka. Kebiasaan menggunakan perangkan digital mungkin menghalangi hubungan interpersonal sesama individu.

Penelitian Kathy Hirsh-Pasek, Ph.D. dari Temple University menunjukkan, 74% kepala sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas mengeluh bahwa kekhawatiran terbesar mereka adalah peningkatan tajam pada emosional anak-anak lantaran pemakaian gawai.

4. Keamanan di Rumah Sakit

Joshua Corman, ahli strategi keamanan siber menuturkan, “Saya meluncurkan sukarelawan peretas kolektif untuk menyelamatkan nyawa manusia melalui penelitian keamanan. Kita telah berpartisipasi besar pada keselamatan pasien di rumah sakit, terutama dengan adanya perubahan pada panduan FDA dan perangkat medis. Tetapi, risiko buruk juga tetap ada.”

Jadi seiring dengan adanya riset tersebut, ia sudah mulai membunuh pasien. Tentu saja, tidak secara harfiah, tetapi melalui simulasi peretasan dengan dokter ahli.

Tim peneliti dapat mematikan peralatan medis yang sifatnya penting, menghancurkan data pasien dan membuat cukup banyak penundaan perawatan yang mirip malapetaka –sehingga pasien akan mati jika ini bukan simulasi.

“Kami melakukan riset ini untuk mengkatalisasi reformasi medis, sebelum ada kerusakan nyata pada pasien. Dokter secara implisit mempercayai teknologi, tetapi ada “harga yang harus dibayar”. Rumah sakit perlu melakukan latihan serupa dan beradaptasi dengan risiko yang muncul ini,” pungkasnya.

5. Keamanan Nasional

6 teknologi

Akankah perusahaan teknologi Amerika bekerja untuk memberi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya teknologi pertahanan terbaik? Atau akankah mereka membiarkan China dan Rusia memimpin?

“Jika kita tidak melakukan pekerjaan itu, orang lain akan memiliki kekuatan di ruang pertahanan untuk menetapkan norma etika yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental,” ucap Palmer Luckey, pendiri Anduril, sebuah perusahaan pertahanan.

6. Etika Sehari-Hari

Apa gunanya hukum ketika ilmuwan China, He Jiankui, mengklaim bahwa dirinya telah mengedit DNA bayi kembar? Regulasi teknologi yang ramah inovasi sangat penting, tetapi seringkali tidak efektif.

“Etika membutuhkan pemikiran terlebih dahulu, sebellum bertindak. Etika juga harus menjadi kebiasaan sehari-hari dalam mengambil keputusan dan komitmen, mengarahkan setiap pilihan di semua tingkatan organisasi,” kata Susan Liautaud, dosen etika di Stanford University dan konsultan etika.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *